Selasa, 02 Agustus 2011

Kisah Cinta Ali dan Fatimah Azzahra

Ada rahasia terdalam di hati
‘Ali yang tak dikisahkannya
pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu
hari ketika ayahnya pulang
dengan luka memercik darah
dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan hati-
hati, ia seka dengan penuh
cinta. Ia bakar perca, ia
tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah
ayahnya.Semuanya dilakukan
dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn
’Abdullah Sang Tepercaya tak
layak diperlakukan demikian
oleh kaumnya! Maka gadis
cilik itu bangkit. Gagah ia
berjalan menuju Ka’bah. Di
sana, para pemuka Quraisy
yang semula saling tertawa
membanggakan tindakannya
pada Sang Nabi tiba-tiba
dicekam diam. Fathimah
menghardik mereka dan
seolah waktu berhenti, tak
memberi mulut-mulut jalang
itu kesempatan untuk
menimpali.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu
bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika
suatu hari mendengar kabar
yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang
paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang
Nabi. Lelaki yang membela
Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki
yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash
Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”,
begitu batin ’Ali.Ia merasa
diuji karena merasa apalah ia
dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu
Bakr lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti
’Ali, namun keimanan dan
pembelaannya pada Allah dan
RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr
menjadi kawan perjalanan
Nabi dalam hijrah sementara
’Ali bertugas menggantikan
beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu
Bakr berda’wah. Lihatlah
berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar
Makkah yang masuk Islam
karena sentuhan Abu Bakr;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn
’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn
Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang
pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak
Muslim yang dibebaskan dan
para faqir yang dibela Abu
Bakr; Bilal, Khabbab,
keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak
yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi
finansial, Abu Bakr sang
saudagar, insya Allah lebih
bisa membahagiakan
Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari
keluarga miskin. ”Inilah
persaudaraan dan cinta”,
gumam ’Ali.”Aku
mengutamakan Abu Bakr atas
diriku, aku mengutamakan
kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan
kembali tunas harap di
hatinya yang sempat
layu.Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus
menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian
itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah
seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang
lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum
Muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang
laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan
musuh- musuh Allah bertekuk
lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya,
Al Faruq, sang pemisah
kebenaran dan kebathilan itu
juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang
masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali
dan Abu Bakr. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk
mengejar pemahaman? Siapa
yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang
hanya ’Umar dan Hamzah
yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan
lebih dari itu, ’Ali mendengar
sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang
bersama Abu Bakr dan ’Umar,
aku keluar bersama Abu Bakr
dan ’Umar, aku masuk
bersama Abu Bakr dan
’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di
sisi Rasul, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia
berhijrah dan bagaimana
’Umar melakukannya. ’Ali
menyusul sang Nabi dengan
sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan beliau
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya,
di siang hari dia mencari
bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi.’Umar telah
berangkat sebelumnya. Ia
thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”,
katanya. ”Hari ini putera Al
Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin
isterinya menjanda, anaknya
menjadi yatim, atau ibunya
berkabung tanpa henti,
silakan hadang ’Umar di balik
bukit ini!” ’Umar adalah lelaki
pemberani. ’Ali, sekali lagi
sadar. Dinilai dari semua segi
dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang
belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh
lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan. Itulah
keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini
pengorbanan.Maka ’Ali
bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ’Umar juga
ditolak.
Menantu macam apa kiranya
yang dikehendaki Nabi? Yang
seperti ’Utsman sang
miliarderkah yang telah
menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul
’Ash ibn Rabi’kah, saudagar
Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu
Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang
kepercayaan diri.Di antara
Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang
setara dengan mereka. Atau
justru Nabi ingin mengambil
menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn
Mu’adzkah, sang pemimpin
Aus yang tampan dan elegan
itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah
penuh semangat
itu?”Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan
lamunan. ”Mengapa engkau
tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat,
engkaulah yang ditunggu-
tunggu Baginda Nabi..
””Aku?”, tanyanya tak
yakin.”Ya. Engkau wahai
saudaraku!””Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?””Kami di
belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”’Ali pun
menghadap Sang Nabi. Maka
dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya
untuk menikahi Fathimah. Ya,
menikahi. Ia tahu, secara
ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi
di sana ditambah persediaan
tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta
waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta
Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya
telah berkepala dua
sekarang.”Engkau pemuda
sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas
cintanya. Pemuda yang siap
memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin
bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan
wa sahlan!” Kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang
Nabi.Dan ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung
untuk menjawab. Mungkin
tidak sekarang. Tapi ia siap
ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban
tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi
menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu
menyakitkan.”Bagaimana
jawab Nabi kawan?
Bagaimana
lamaranmu?””Entahlah..””Apa
maksudmu?””Menurut kalian
apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah
jawaban!””Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka,”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu
saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga.
Dan kau mendapatkan Ahlan
wa Sahlan kawan! Dua-duanya
berarti ya !”Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan ke kawan-
kawannya tapi Nabi berkeras
agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya
bagi Abu Bakr, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian
untuk menikah. Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-
nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda
Arab memiliki yel, “Laa fatan
illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda
kecuali Ali!” Inilah jalan cinta
para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan
semua perasaan dengan
tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia
mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang
pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga
yang dilakukan oleh Putri
Sang Nabi, dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa
suatu hari (setelah mereka
menikah) Fathimah berkata
kepada ‘Ali, “Maafkan aku,
karena sebelum menikah
denganmu. Aku pernah satu
kali jatuh cinta pada seorang
pemuda ”‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu
mengapa engkau mau
manikah denganku? dan
Siapakah pemuda itu?”Sambil
tersenyum Fathimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu
adalah Dirimu.”
Kemudian Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla memerintahkan aku
untuk menikahkan Fatimah
puteri Khadijah dengan Ali bin
Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan
maskawin empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak),
dan Ali ridha (menerima)
mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw.
mendoakan keduanya:“
Semoga Allah mengumpulkan
kesempurnaan kalian berdua,
membahagiakan kesungguhan
kalian berdua, memberkahi
kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian
berdua kebajikan yang
banyak.”
(Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah
2:183, Bab 4).

Tidak ada komentar: