Ada rahasia terdalam di hati
‘Ali yang tak dikisahkannya
pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi yang
adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu
hari ketika ayahnya pulang
dengan luka memercik darah
dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan hati-
hati, ia seka dengan penuh
cinta. Ia bakar perca, ia
tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah
ayahnya.Semuanya dilakukan
dengan mata gerimis dan hati
menangis. Muhammad ibn
’Abdullah Sang Tepercaya tak
layak diperlakukan demikian
oleh kaumnya! Maka gadis
cilik itu bangkit. Gagah ia
berjalan menuju Ka’bah. Di
sana, para pemuka Quraisy
yang semula saling tertawa
membanggakan tindakannya
pada Sang Nabi tiba-tiba
dicekam diam. Fathimah
menghardik mereka dan
seolah waktu berhenti, tak
memberi mulut-mulut jalang
itu kesempatan untuk
menimpali.
‘Ali tak tahu apakah rasa itu
bisa disebut cinta. Tapi, ia
memang tersentak ketika
suatu hari mendengar kabar
yang mengejutkan. Fathimah
dilamar seorang lelaki yang
paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang
Nabi. Lelaki yang membela
Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki
yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash
Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”,
begitu batin ’Ali.Ia merasa
diuji karena merasa apalah ia
dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu
Bakr lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti
’Ali, namun keimanan dan
pembelaannya pada Allah dan
RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr
menjadi kawan perjalanan
Nabi dalam hijrah sementara
’Ali bertugas menggantikan
beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu
Bakr berda’wah. Lihatlah
berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar
Makkah yang masuk Islam
karena sentuhan Abu Bakr;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn
’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn
Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang
pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak
Muslim yang dibebaskan dan
para faqir yang dibela Abu
Bakr; Bilal, Khabbab,
keluarga Yassir, ’Abdullah ibn
Mas’ud.. Dan siapa budak
yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi
finansial, Abu Bakr sang
saudagar, insya Allah lebih
bisa membahagiakan
Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari
keluarga miskin. ”Inilah
persaudaraan dan cinta”,
gumam ’Ali.”Aku
mengutamakan Abu Bakr atas
diriku, aku mengutamakan
kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan
kembali tunas harap di
hatinya yang sempat
layu.Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus
menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian
itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah
seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang
lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum
Muslimin berani tegak
mengangkat muka, seorang
laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan
musuh- musuh Allah bertekuk
lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya,
Al Faruq, sang pemisah
kebenaran dan kebathilan itu
juga datang melamar
Fathimah. ’Umar memang
masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali
dan Abu Bakr. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk
mengejar pemahaman? Siapa
yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang
hanya ’Umar dan Hamzah
yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan
lebih dari itu, ’Ali mendengar
sendiri betapa seringnya Nabi
berkata, ”Aku datang
bersama Abu Bakr dan ’Umar,
aku keluar bersama Abu Bakr
dan ’Umar, aku masuk
bersama Abu Bakr dan
’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di
sisi Rasul, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia
berhijrah dan bagaimana
’Umar melakukannya. ’Ali
menyusul sang Nabi dengan
sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan beliau
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya,
di siang hari dia mencari
bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi.’Umar telah
berangkat sebelumnya. Ia
thawaf tujuh kali, lalu naik ke
atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”,
katanya. ”Hari ini putera Al
Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin
isterinya menjanda, anaknya
menjadi yatim, atau ibunya
berkabung tanpa henti,
silakan hadang ’Umar di balik
bukit ini!” ’Umar adalah lelaki
pemberani. ’Ali, sekali lagi
sadar. Dinilai dari semua segi
dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang
belum siap menikah. Apalagi
menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh
lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan. Itulah
keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini
pengorbanan.Maka ’Ali
bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ’Umar juga
ditolak.
Menantu macam apa kiranya
yang dikehendaki Nabi? Yang
seperti ’Utsman sang
miliarderkah yang telah
menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul
’Ash ibn Rabi’kah, saudagar
Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu
Rasulullah itu sungguh
membuatnya hilang
kepercayaan diri.Di antara
Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang
setara dengan mereka. Atau
justru Nabi ingin mengambil
menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn
Mu’adzkah, sang pemimpin
Aus yang tampan dan elegan
itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah
penuh semangat
itu?”Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan
lamunan. ”Mengapa engkau
tak mencoba melamar
Fathimah? Aku punya firasat,
engkaulah yang ditunggu-
tunggu Baginda Nabi..
””Aku?”, tanyanya tak
yakin.”Ya. Engkau wahai
saudaraku!””Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?””Kami di
belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”’Ali pun
menghadap Sang Nabi. Maka
dengan memberanikan diri,
disampaikannya keinginannya
untuk menikahi Fathimah. Ya,
menikahi. Ia tahu, secara
ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi
di sana ditambah persediaan
tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta
waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta
Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya
telah berkepala dua
sekarang.”Engkau pemuda
sejati wahai ’Ali!”, begitu
nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas
cintanya. Pemuda yang siap
memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin
bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan
wa sahlan!” Kata itu meluncur
tenang bersama senyum Sang
Nabi.Dan ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat
datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung
untuk menjawab. Mungkin
tidak sekarang. Tapi ia siap
ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan
daripada menanggung beban
tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi
menyimpannya dalam hati
sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu
menyakitkan.”Bagaimana
jawab Nabi kawan?
Bagaimana
lamaranmu?””Entahlah..””Apa
maksudmu?””Menurut kalian
apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah
jawaban!””Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka,”Eh, maaf
kawan.. Maksud kami satu
saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja
sudah berarti ya. Sahlan juga.
Dan kau mendapatkan Ahlan
wa Sahlan kawan! Dua-duanya
berarti ya !”Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan ke kawan-
kawannya tapi Nabi berkeras
agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya
bagi Abu Bakr, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian
untuk menikah. Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-
nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda
Arab memiliki yel, “Laa fatan
illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda
kecuali Ali!” Inilah jalan cinta
para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan
semua perasaan dengan
tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia
mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang
pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga
yang dilakukan oleh Putri
Sang Nabi, dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa
suatu hari (setelah mereka
menikah) Fathimah berkata
kepada ‘Ali, “Maafkan aku,
karena sebelum menikah
denganmu. Aku pernah satu
kali jatuh cinta pada seorang
pemuda ”‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu
mengapa engkau mau
manikah denganku? dan
Siapakah pemuda itu?”Sambil
tersenyum Fathimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu
adalah Dirimu.”
Kemudian Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla memerintahkan aku
untuk menikahkan Fatimah
puteri Khadijah dengan Ali bin
Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah
menikahkannya dengan
maskawin empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak),
dan Ali ridha (menerima)
mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah saw.
mendoakan keduanya:“
Semoga Allah mengumpulkan
kesempurnaan kalian berdua,
membahagiakan kesungguhan
kalian berdua, memberkahi
kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian
berdua kebajikan yang
banyak.”
(Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah
2:183, Bab 4).
Selasa, 02 Agustus 2011
Kisah Imam Maliki (93 - 179H)
Beliaulah cikal bakal madhzab
Maliki. Imam Malik yang
bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amr
bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris al
Asbahi, lahir di Madinah pada
tahun 93 H/712 M dan wafat
tahun 179 H/796 M. Berasal
dari keluarga Arab terhormat,
berstatus sosial tinggi, baik
sebelum maupun sesudah
datangnya Islam. Tanah asal
leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek
moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah.
Kakeknya, Abu Amir, adalah
anggota keluarga pertama
yang memeluk agama Islam
pada tahun 2 H. Saat itu,
Madinah adalah kota ‘ilmu’
yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk
kelompok ulama hadits
terpandang di Madinah.
Karenanya, sejak kecil Imam
Malik tak berniat
meninggalkan Madinah untuk
mencari ilmu. Ia merasa
Madinah adalah kota dengan
sumber ilmu yang berlimpah
lewat kehadiran ulama-ulama
besarnya.
Kendati demikian, dalam
mencari ilmu Imam Malik rela
mengorbankan apa saja.
Menurut satu riwayat, sang
imam sampai harus menjual
tiang rumahnya hanya untuk
membayar biaya
pendidikannya. Menurutnya,
tak layak seorang yang
mencapai derajat intelektual
tertinggi sebelum berhasil
mengatasi kemiskinan.
Kemiskinan, katanya, adalah
ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama
ahli hadits, maka Imam Malik
pun menekuni pelajaran hadits
kepada ayah dan paman-
pamannya. Kendati demikian,
ia pernah berguru pada
ulama-ulama terkenal seperti
Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu
Syihab az Zuhri, Abul Zinad,
Hasyim bin Urwa, Yahya bin
Said al Anshari, dan
Muhammad bin Munkadir.
Gurunya yang lain adalah
Abdurrahman bin Hurmuz,
tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa
dan ilmu berdebat; juga Imam
Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik
telah menguasai banyak ilmu.
Kecintaannya kepada ilmu
menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan. Tidak
kurang empat khalifah, mulai
dari Al Mansur, Al Mahdi,
Hadi Harun, dan Al Ma’mun,
pernah jadi murid Imam Malik.
Ulama besar, Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i pun
pernah menimba ilmu dari
Imam Malik. Belum lagi
ilmuwan dan para ahli lainnya.
Menurut sebuah riwayat
disebutkan murid terkenal
Imam Malik mencapai 1.300
orang.
Ciri pengajaran Imam Malik
adalah disiplin, ketentraman,
dan rasa hormat murid
kepada gurunya. Prinsip ini
dijunjung tinggi olehnya
sehingga tak segan-segan ia
menegur keras murid-
muridnya yang melanggar
prinsip tersebut. Pernah suatu
kali Khalifah Mansur
membahas sebuah hadits
dengan nada agak keras. Sang
imam marah dan berkata,
”Jangan melengking bila
sedang membahas hadits
Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik
bukan sekali saja.
Berulangkali, manakala
dihadapkan pada keinginan
penguasa yang tak sejalan
dengan aqidah Islamiyah,
Imam Malik menentang tanpa
takut risiko yang dihadapinya.
Salah satunya dengan Ja’far,
gubernur Madinah. Suatu
ketika, gubernur yang masih
keponakan Khalifah
Abbasiyah, Al Mansur,
meminta seluruh penduduk
Madinah melakukan bai’at
(janji setia) kepada khalifah.
Namun, Imam Malik yang saat
itu baru berusia 25 tahun
merasa tak mungkin
penduduk Madinah melakukan
bai’at kepada khalifah yang
mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur
tentang tak berlakunya bai’at
tanpa keikhlasan seperti tidak
sahnya perceraian paksa.
Ja’far meminta Imam Malik
tak menyebarluaskan
pandangannya tersebut, tapi
ditolaknya. Gubernur Ja’far
merasa terhina sekali. Ia pun
memerintahkan pengawalnya
menghukum dera Imam Malik
sebanyak 70 kali. Dalam
kondisi berlumuran darah,
sang imam diarak keliling
Madinah dengan untanya.
Dengan hal itu, Ja’far seakan
mengingatkan orang banyak,
ulama yang mereka hormati
tak dapat menghalangi
kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah
Mansur tidak berkenan
dengan kelakuan
keponakannya itu. Mendengar
kabar penyiksaan itu, khalifah
segera mengirim utusan untuk
menghukum keponakannya
dan memerintahkan untuk
meminta maaf kepada sang
imam. Untuk menebus
kesalahan itu, khalifah
meminta Imam Malik
bermukim di ibukota Baghdad
dan menjadi salah seorang
penasihatnya. Khalifah
mengirimkan uang 3.000 dinar
untuk keperluan perjalanan
sang imam. Namun, undangan
itu pun ditolaknya. Imam
Malik lebih suka tidak
meninggalkan kota Madinah.
Hingga akhir hayatnya, ia tak
pernah pergi keluar Madinah
kecuali untuk berhaji.
Dalam sebuah kunjungan ke
kota Madinah, Khalifah Bani
Abbasiyyah, Harun Al Rasyid
(penguasa saat itu), tertarik
mengikuti ceramah al
Muwatta’ yang diadakan Imam
Malik. Untuk hal ini, khalifah
mengutus orang memanggil
Imam.
”Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits.
Mereka amat
menghormatinya. Bila sebagai
khalifah Anda tidak
menghormatinya, tak seorang
pun akan menaruh hormat
lagi. Manusia yang mencari
ilmu, sementara ilmu tidak
akan mencari manusia,”
nasihat Imam Malik kepada
Khalifah Harun.
Sedianya, khalifah ingin
jamaah meninggalkan
ruangan tempat ceramah itu
diadakan. Namun, permintaan
itu tak dikabulkan Malik.
”Saya tidak dapat
mengorbankan kepentingan
umum hanya untuk
kepentingan seorang pribadi.”
Sang khalifah pun akhirnya
mengikuti ceramah bersama
dua putranya dan duduk
berdampingan dengan rakyat
kecil.
Pengendalian diri dan
kesabaran Imam Malik
membuat ia ternama di
seantero dunia Islam. Pernah
semua orang panik lari ketika
segerombolan Kharijis
bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah.
Tetapi, Imam Malik yang
sedang shalat tanpa cemas
tidak beranjak dari
tempatnya. Mencium tangan
khalifah apabila menghadap di
baliurang sudah menjadi adat
kebiasaan, namun Imam Malik
tidak pernah tunduk pada
penghinaan seperti itu.
Sebaliknya, ia sangat hormat
pada para cendekiawan,
sehingga pernah ia
menawarkan tempat
duduknya sendiri kepada
Imam Abu Hanifah yang
mengunjunginya.
Beliau wafat pada tahun 179
hijrah ketika berumur 86
tahun dan meninggalkan 3
orang putera dan seorang
puteri.
***
Kitab Al Muwatta’
Al Muwatta’ adalah kitab fikih
berdasarkan himpunan hadits-
hadits pilihan. Santri mana
yang tak kenal kitab yang satu
ini. Ia menjadi rujukan
penting, khususnya di
kalangan pesantren dan
ulama kontemporer. Karya
terbesar Imam Malik ini dinilai
memiliki banyak keistimwaan.
Ia disusun berdasarkan
klasifikasi fikih dengan
memperinci kaidah fikih yang
diambil dari hadits dan fatwa
sahabat.
Menurut beberapa riwayat,
sesungguhnya Al Muwatta’ tak
akan lahir bila Imam Malik
tidak ‘dipaksa’ Khalifah
Mansur. Setelah penolakan
untuk ke Baghdad, Khalifah Al
Mansur meminta Imam Malik
mengumpulkan hadits dan
membukukannya. Awalnya,
Imam Malik enggan
melakukan itu. Namun,
karena dipandang tak ada
salahnya melakukan hal
tersebut, akhirnya lahirlah Al
Muwatta’. Ditulis di masa Al
Mansur (754-775 M) dan baru
selesai di masa Al Mahdi
(775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al
Muwatta’ sebagai karya
pilihan yang tak ada duanya.
Menurut Syah Walilullah,
kitab ini merupakan himpunan
hadits paling shahih dan
terpilih. Imam Malik memang
menekankan betul terujinya
para perawi. Semula, kitab ini
memuat 10 ribu hadits.
Namun, lewat penelitian
ulang, Imam Malik hanya
memasukkan 1.720 hadits.
Kitab ini telah diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa
dengan 16 edisi yang
berlainan. Selain Al Muwatta’,
Imam Malik juga menyusun
kitab Al Mudawwanah al
Kubra, yang berisi fatwa-
fatwa dan jawaban Imam
Malik atas berbagai
persoalan.
Imam Malik tak hanya
meninggalkan warisan buku.
Ia juga mewariskan mazhab
fikih di kalangan Islam Sunni,
yang disebut sebagai Mazhab
Maliki. Selain fatwa-fatwa
Imam Malik dan Al Muwatta’,
kitab-kitab seperti Al
Mudawwanah al Kubra,
Bidayatul Mujtahid wa
Nihaayatul Muqtashid (karya
Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah
fi al Fiqh al Maliki (karya Abu
Muhammad Abdullah bin
Zaid), Asl al Madarik Syarh
Irsyad al Masalik fi Fiqh al
Imam Malik (karya
Shihabuddin al Baghdadi), dan
Bulgah as Salik li Aqrab al
Masalik (karya Syeikh Ahmad
as Sawi), menjadi rujukan
utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten
memegang teguh hadits,
mazhab ini juga dikenal amat
mengedepankan aspek
kemaslahatan dalam
menetapkan hukum. Secara
berurutan, sumber hukum
yang dikembangkan dalam
Mazhab Maliki adalah Al-
Qur’an, Sunnah Rasulullah
SAW, amalan sahabat, tradisi
masyarakat Madinah (amal
ahli al Madinah), qiyas
(analogi), dan al maslahah al
mursalah (kemaslahatan yang
tidak didukung atau dilarang
oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi
mazhab resmi di Mekah,
Madinah, Irak, Mesir, Aljazair,
Tunisia, Andalusia (kini
Spanyol), Marokko, dan
Sudan. Kecuali di tiga negara
yang disebut terakhir, jumlah
pengikut mazhab Maliki kini
menyusut. Mayoritas
penduduk Mekah dan Madinah
saat ini mengikuti Mazhab
Hanbali. Di Iran dan Mesir,
jumlah pengikut Mazhab
Maliki juga tidak banyak.
Hanya Marokko saat ini satu-
satunya negara yang secara
resmi menganut Mazhab
Maliki.
Sumber: http://
www.kotasantri.com/
galeria.php?
aksi=DetailArtikel&artid=170
Maliki. Imam Malik yang
bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amr
bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris al
Asbahi, lahir di Madinah pada
tahun 93 H/712 M dan wafat
tahun 179 H/796 M. Berasal
dari keluarga Arab terhormat,
berstatus sosial tinggi, baik
sebelum maupun sesudah
datangnya Islam. Tanah asal
leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek
moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah.
Kakeknya, Abu Amir, adalah
anggota keluarga pertama
yang memeluk agama Islam
pada tahun 2 H. Saat itu,
Madinah adalah kota ‘ilmu’
yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk
kelompok ulama hadits
terpandang di Madinah.
Karenanya, sejak kecil Imam
Malik tak berniat
meninggalkan Madinah untuk
mencari ilmu. Ia merasa
Madinah adalah kota dengan
sumber ilmu yang berlimpah
lewat kehadiran ulama-ulama
besarnya.
Kendati demikian, dalam
mencari ilmu Imam Malik rela
mengorbankan apa saja.
Menurut satu riwayat, sang
imam sampai harus menjual
tiang rumahnya hanya untuk
membayar biaya
pendidikannya. Menurutnya,
tak layak seorang yang
mencapai derajat intelektual
tertinggi sebelum berhasil
mengatasi kemiskinan.
Kemiskinan, katanya, adalah
ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama
ahli hadits, maka Imam Malik
pun menekuni pelajaran hadits
kepada ayah dan paman-
pamannya. Kendati demikian,
ia pernah berguru pada
ulama-ulama terkenal seperti
Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu
Syihab az Zuhri, Abul Zinad,
Hasyim bin Urwa, Yahya bin
Said al Anshari, dan
Muhammad bin Munkadir.
Gurunya yang lain adalah
Abdurrahman bin Hurmuz,
tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa
dan ilmu berdebat; juga Imam
Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik
telah menguasai banyak ilmu.
Kecintaannya kepada ilmu
menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan. Tidak
kurang empat khalifah, mulai
dari Al Mansur, Al Mahdi,
Hadi Harun, dan Al Ma’mun,
pernah jadi murid Imam Malik.
Ulama besar, Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i pun
pernah menimba ilmu dari
Imam Malik. Belum lagi
ilmuwan dan para ahli lainnya.
Menurut sebuah riwayat
disebutkan murid terkenal
Imam Malik mencapai 1.300
orang.
Ciri pengajaran Imam Malik
adalah disiplin, ketentraman,
dan rasa hormat murid
kepada gurunya. Prinsip ini
dijunjung tinggi olehnya
sehingga tak segan-segan ia
menegur keras murid-
muridnya yang melanggar
prinsip tersebut. Pernah suatu
kali Khalifah Mansur
membahas sebuah hadits
dengan nada agak keras. Sang
imam marah dan berkata,
”Jangan melengking bila
sedang membahas hadits
Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik
bukan sekali saja.
Berulangkali, manakala
dihadapkan pada keinginan
penguasa yang tak sejalan
dengan aqidah Islamiyah,
Imam Malik menentang tanpa
takut risiko yang dihadapinya.
Salah satunya dengan Ja’far,
gubernur Madinah. Suatu
ketika, gubernur yang masih
keponakan Khalifah
Abbasiyah, Al Mansur,
meminta seluruh penduduk
Madinah melakukan bai’at
(janji setia) kepada khalifah.
Namun, Imam Malik yang saat
itu baru berusia 25 tahun
merasa tak mungkin
penduduk Madinah melakukan
bai’at kepada khalifah yang
mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur
tentang tak berlakunya bai’at
tanpa keikhlasan seperti tidak
sahnya perceraian paksa.
Ja’far meminta Imam Malik
tak menyebarluaskan
pandangannya tersebut, tapi
ditolaknya. Gubernur Ja’far
merasa terhina sekali. Ia pun
memerintahkan pengawalnya
menghukum dera Imam Malik
sebanyak 70 kali. Dalam
kondisi berlumuran darah,
sang imam diarak keliling
Madinah dengan untanya.
Dengan hal itu, Ja’far seakan
mengingatkan orang banyak,
ulama yang mereka hormati
tak dapat menghalangi
kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah
Mansur tidak berkenan
dengan kelakuan
keponakannya itu. Mendengar
kabar penyiksaan itu, khalifah
segera mengirim utusan untuk
menghukum keponakannya
dan memerintahkan untuk
meminta maaf kepada sang
imam. Untuk menebus
kesalahan itu, khalifah
meminta Imam Malik
bermukim di ibukota Baghdad
dan menjadi salah seorang
penasihatnya. Khalifah
mengirimkan uang 3.000 dinar
untuk keperluan perjalanan
sang imam. Namun, undangan
itu pun ditolaknya. Imam
Malik lebih suka tidak
meninggalkan kota Madinah.
Hingga akhir hayatnya, ia tak
pernah pergi keluar Madinah
kecuali untuk berhaji.
Dalam sebuah kunjungan ke
kota Madinah, Khalifah Bani
Abbasiyyah, Harun Al Rasyid
(penguasa saat itu), tertarik
mengikuti ceramah al
Muwatta’ yang diadakan Imam
Malik. Untuk hal ini, khalifah
mengutus orang memanggil
Imam.
”Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits.
Mereka amat
menghormatinya. Bila sebagai
khalifah Anda tidak
menghormatinya, tak seorang
pun akan menaruh hormat
lagi. Manusia yang mencari
ilmu, sementara ilmu tidak
akan mencari manusia,”
nasihat Imam Malik kepada
Khalifah Harun.
Sedianya, khalifah ingin
jamaah meninggalkan
ruangan tempat ceramah itu
diadakan. Namun, permintaan
itu tak dikabulkan Malik.
”Saya tidak dapat
mengorbankan kepentingan
umum hanya untuk
kepentingan seorang pribadi.”
Sang khalifah pun akhirnya
mengikuti ceramah bersama
dua putranya dan duduk
berdampingan dengan rakyat
kecil.
Pengendalian diri dan
kesabaran Imam Malik
membuat ia ternama di
seantero dunia Islam. Pernah
semua orang panik lari ketika
segerombolan Kharijis
bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah.
Tetapi, Imam Malik yang
sedang shalat tanpa cemas
tidak beranjak dari
tempatnya. Mencium tangan
khalifah apabila menghadap di
baliurang sudah menjadi adat
kebiasaan, namun Imam Malik
tidak pernah tunduk pada
penghinaan seperti itu.
Sebaliknya, ia sangat hormat
pada para cendekiawan,
sehingga pernah ia
menawarkan tempat
duduknya sendiri kepada
Imam Abu Hanifah yang
mengunjunginya.
Beliau wafat pada tahun 179
hijrah ketika berumur 86
tahun dan meninggalkan 3
orang putera dan seorang
puteri.
***
Kitab Al Muwatta’
Al Muwatta’ adalah kitab fikih
berdasarkan himpunan hadits-
hadits pilihan. Santri mana
yang tak kenal kitab yang satu
ini. Ia menjadi rujukan
penting, khususnya di
kalangan pesantren dan
ulama kontemporer. Karya
terbesar Imam Malik ini dinilai
memiliki banyak keistimwaan.
Ia disusun berdasarkan
klasifikasi fikih dengan
memperinci kaidah fikih yang
diambil dari hadits dan fatwa
sahabat.
Menurut beberapa riwayat,
sesungguhnya Al Muwatta’ tak
akan lahir bila Imam Malik
tidak ‘dipaksa’ Khalifah
Mansur. Setelah penolakan
untuk ke Baghdad, Khalifah Al
Mansur meminta Imam Malik
mengumpulkan hadits dan
membukukannya. Awalnya,
Imam Malik enggan
melakukan itu. Namun,
karena dipandang tak ada
salahnya melakukan hal
tersebut, akhirnya lahirlah Al
Muwatta’. Ditulis di masa Al
Mansur (754-775 M) dan baru
selesai di masa Al Mahdi
(775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al
Muwatta’ sebagai karya
pilihan yang tak ada duanya.
Menurut Syah Walilullah,
kitab ini merupakan himpunan
hadits paling shahih dan
terpilih. Imam Malik memang
menekankan betul terujinya
para perawi. Semula, kitab ini
memuat 10 ribu hadits.
Namun, lewat penelitian
ulang, Imam Malik hanya
memasukkan 1.720 hadits.
Kitab ini telah diterjemahkan
ke dalam beberapa bahasa
dengan 16 edisi yang
berlainan. Selain Al Muwatta’,
Imam Malik juga menyusun
kitab Al Mudawwanah al
Kubra, yang berisi fatwa-
fatwa dan jawaban Imam
Malik atas berbagai
persoalan.
Imam Malik tak hanya
meninggalkan warisan buku.
Ia juga mewariskan mazhab
fikih di kalangan Islam Sunni,
yang disebut sebagai Mazhab
Maliki. Selain fatwa-fatwa
Imam Malik dan Al Muwatta’,
kitab-kitab seperti Al
Mudawwanah al Kubra,
Bidayatul Mujtahid wa
Nihaayatul Muqtashid (karya
Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah
fi al Fiqh al Maliki (karya Abu
Muhammad Abdullah bin
Zaid), Asl al Madarik Syarh
Irsyad al Masalik fi Fiqh al
Imam Malik (karya
Shihabuddin al Baghdadi), dan
Bulgah as Salik li Aqrab al
Masalik (karya Syeikh Ahmad
as Sawi), menjadi rujukan
utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten
memegang teguh hadits,
mazhab ini juga dikenal amat
mengedepankan aspek
kemaslahatan dalam
menetapkan hukum. Secara
berurutan, sumber hukum
yang dikembangkan dalam
Mazhab Maliki adalah Al-
Qur’an, Sunnah Rasulullah
SAW, amalan sahabat, tradisi
masyarakat Madinah (amal
ahli al Madinah), qiyas
(analogi), dan al maslahah al
mursalah (kemaslahatan yang
tidak didukung atau dilarang
oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi
mazhab resmi di Mekah,
Madinah, Irak, Mesir, Aljazair,
Tunisia, Andalusia (kini
Spanyol), Marokko, dan
Sudan. Kecuali di tiga negara
yang disebut terakhir, jumlah
pengikut mazhab Maliki kini
menyusut. Mayoritas
penduduk Mekah dan Madinah
saat ini mengikuti Mazhab
Hanbali. Di Iran dan Mesir,
jumlah pengikut Mazhab
Maliki juga tidak banyak.
Hanya Marokko saat ini satu-
satunya negara yang secara
resmi menganut Mazhab
Maliki.
Sumber: http://
www.kotasantri.com/
galeria.php?
aksi=DetailArtikel&artid=170
Kisah Imam Hanafi (80H-150H)
Imam Hanafi dilahirkan pada
tahun 80 Hijrah bertepatan
tahun 699 Masehi di sebuah
kota bernama Kufah. Nama
yang sebenarnya ialah Nu’man
bin Tsabit bin Zautha bin
Maha. Kemudian masyhur
dengan gelaran Imam Hanafi.
Imam Abu Hanafih adalah
seorang imam Mazhab yang
besar dalam dunia Islam.
Dalam empat mazhab yang
terkenal tersebut hanya Imam
Hanafi yang bukan orang
Arab. Beliau keturunan Persia
atau disebut juga dengan
bangsa Ajam. Pendirian beliau
sama dengan pendirian imam
yang lain, iaitu sama-sama
menegakkan Al-Quran dan
sunnah Nabi SAW.
Kemasyhuran nama tersebut
menurut para ahli sejarah ada
beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai
seorang anak laki-laki yang
bernama Hanifah, maka ia
diberi julukan dengan Abu
Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya
sangat tekun belajar dan
menghayati setiap yang
dipelajarinya, maka ia
dianggap seorang yang hanif
(kecenderungan/condong)
pada agama. Itulah sebabnya
ia masyhur dengan gelaran
Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia,
Hanifah bererti tinta. Imam
Hanafi sangat rajin menulis
hadith-hadith, ke mana, ia
pergi selalu membawa tinta.
Kerana itu ia dinamakan Abu
Hanifah.
Waktu ia dilahirkan,
pemerintahan Islam berada di
tangan Abdul Malik bin
Marwan, dari keturunan Bani
Umaiyyah kelima. Kepandaian
Imam Hanafi tidak diragukan
lagi, beliau mengerti betul
tentang ilmu fiqih, ilmu
tauhid, ilmu kalam, dan juga
ilmu hadith. Di samping itu
beliau juga pandai dalam ilmu
kesusasteraan dan hikmah.
Imam Hanafi adalah seorang
hamba Allah yang bertakwa
dan soleh, seluruh waktunya
lebih banyak diisi dengan amal
ibadah. Jika beliau berdoa
matanya bercucuran air mata
demi mengharapkan
keredhaan Allah SWT.
Walaupun demikian orang-
orang yang berjiwa jahat
selalu berusaha untuk
menganiaya beliau.
Sifat keberanian beliau adalah
berani menegakkan dan
mempertahankan kebenaran.
Untuk kebenaran ia tidak
takut sengsara atau apa
bahaya yang akan
diterimanya. Dengan
keberaniannya itu beliau
selalu mencegah orang-orang
yang melakukan perbuatan
mungkar, kerana menurut
Imam Hanafi kalau
kemungkaran itu tidak
dicegah, bukan orang yang
berbuat kejahatan itu saja
yang akan merasakan
akibatnya, melainkan
semuanya, termasuk orang-
orang yang baik yang ada di
tempat tersebut
Sebahagian dilukiskan dalam
sebuah hadith Rasulullah SAW
bahawa bumi ini
diumpamakan sebuah bahtera
yang didiami oleh dua
kumpulan. Kumpulan pertama
adalah terdiri orang-orang
yang baik-baik sementara
kumpulan kedua terdiri dari
yang jahat-jahat. Kalau
kumpulan jahat ini mahu
merosak bahtera dan
kumpulan baik itu tidak mahu
mencegahnya, maka seluruh
penghuni bahtera itu akan
binasa. Tetapi sebaliknya jika
kumpulan yang baik itu mahu
mencegah perbuatan orang-
orang yang mahu membuat
kerosakan di atas bahtera itu,
maka semuanya akan
selamat.
Sifat Imam Hanafi yang lain
adalah menolak kedudukan
tinggi yang diberikan
pemerintah kepadanya. Ia
menolak pangkat dan
menolak wang yang dibelikan
kepadanya. Akibat dari
penolakannya itu ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam
penjara. Di dalam penjara ia
diseksa, dipukul dan
sebagainya.
Gubernur di Iraq pada waktu
itu berada di tangan Yazid bin
Hurairah Al-Fazzari. Selaku
pemimpin ia tentu dapat
mengangkat dan
memberhentikan pegawai
yang berada di bawah
kekuasaannya. Pernah pada
suatu ketika Imam Hanafi
akan diangkat menjadi ketua
urusan perbendaharan negara
(Baitul mal), tetapi
pengangkatan itu ditolaknya.
Ia tidak mahu menerima
kedudukan tinggi tersebut.
Sampai berulang kali Gabenor
Yazid menawarkan pangkat
itu kepadanya, namun tetap
ditolaknya.
Pada waktu yang lain Gabenor
Yazid menawarkan pangkat
Kadi (hakim) tetapi juga
ditolaknya. Rupanya Yazid
tidak senang melihat sikap
Imam Hanafi tersebut. Seolah-
olah Imam Hanafi memusuhi
pemerintah, kerana itu timbul
rasa curiganya. Oleh kerana
itu ia diselidiki dan diancam
akan dihukum dengan hukum
dera. Ketika Imam Hanafi
mendengar kata ancaman
hukum dera itu Imam Hanafi
menjawab: “Demi Allah, aku
tidak akan mengerjakan
jabatan yang ditawarkan
kepadaku, sekalipun aku akan
dibunuh oleh pihak kerajaan.”
Demikian beraninya Imam
Hanafi dalam menegakkan
pendirian hidupnya.
Pada suatu hari Yazid
memanggil para alim ulama
ahli fiqih yang terkemuka di
Iraq, dikumpulkan di muka
istananya. Di antara mereka
yang datang ketika itu adalah
Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah,
Daud bin Abi Hind dan lain-
lain. Kepada mereka, masing-
masing diberi kedudukan
rasmi oleh Gabenor.
Ketika itu gabenor
menetapkan Imam Hanafi
menjadi Pengetua jawatan
Sekretari gabenor. Tugasnya
adalah bertanggungjawab
terhadap keluar masuk wang
negara. Gabenor dalam
memutuskan jabatan itu
disertai dengan sumpah, “Jika
Abu Hanifah tidak menerima
pangkat itu nescaya ia akan
dihukum dengan pukulan.”
Walaupun ada ancaman
seperti itu, Imam Hanafi tetap
menolak jawatan itu, bahkan
ia tetap tegas, bahawa ia
tidak mahu menjadi pegawai
kerajaan dan tidak mahu
campur tangan dalam urusan
negara.
Kerana sikapnya itu, akhirnya
ditangkap oleh gabenor.
Kemudian dimasukkan ke
dalam penjara selama dua
minggu, dengan tidak dipukul.
Lima belas hari kemudian
baru dipukul sebanyak 14 kali
pukulan, setelah itu baru
dibebaskan. Beberapa hari
sesudah itu gabenor
menawarkan menjadi kadi,
juga ditolaknya. Kemudian
ditangkap lagi dan dijatuhi
hukuman dera sebanyak 110
kali. Setiap hari didera
sebanyak sepuluh kali
pukulan. Namun demikian
Imam Hanafi tetap dengan
pendiriannya. Sampai ia
dilepaskan kembali setelah
cukup 110 kali cambukan.
Walaupun demikian ketika
Imam Hanafi diseksa ia
sempat berkata. “Hukuman
dera di dunia lebih ringan
daripada hukuman neraka di
akhirat nanti.” Ketika ia
berusia lebih dari 50 tahun,
ketua negara ketika itu
berada di tangan Marwan bin
Muhammad. Imam Hanafi juga
menerima ujian. Kemudian
pada tahun 132 H sesudah dua
tahun dari hukuman tadi
terjadilah pergantian pimpinan
negara, dari keturunan
Umaiyyah ke tangan
Abbasiyyah, ketua negaranya
bernama Abu Abbas as Saffah.
Pada tahun 132 H sesudah Abu
Abbas meninggal dunia diganti
dengan ketua negara yang
baru bernama Abi Jaafar Al-
Mansur, saudara muda dari
Abul Abbas as Saffah. Ketika
itu Imam Abu Hanifah telah
berumur 56 tahun. Namanya
masih tetap harum sebagai
ulama besar yang disegani.
Ahli fikir yang cepat dapat
menyelesaikan sesuatu
persoalan.
Suatu hari Imam Hanafi
mendapat panggilan dari
baginda Al-Mansur di
Baghdad, supaya ia datang
mengadap ke istana.
Sesampainya ia di istana
Baghdad ia ditetapkan oleh
baginda menjadi kadi (hakim)
kerajaan Baghdad. Dengan
tawaran tersebut, salah
seorang pegawai negara
bertanya: “Adakah guru tetap
akan menolak kedudukan baik
itu?” Dijawab oleh Imam
Hanafi “Amirul mukminin
lebih kuat membayar kifarat
sumpahnya daripada saya
membayar sumpah saya.”
Kerana ia masih tetap
menolak, maka diperintahkan
kepada pengawal untuk
menangkapnya, kemudian
dimasukkan ke dalam penjara
di Baghdad. Pada saat itu para
ulama yang terkemuka di
Kufah ada tiga orang. Salah
satu di antaranya ialah Imam
Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak
pemerintahan Abu Abbas as
Saffah telah menjadi mufti
kerajaan untuk kota Kufah.
Kerana sikap Imam Hanafi itu,
Imam Abi Laila pun dilarang
memberi fatwa.
Pada suatu hari Imam Hanafi
dikeluarkan dari penjara
kerana mendapat panggilan
dari Al-Mansur, tetapi ia tetap
menolak. Baginda bertanya,
“Apakah engkau telah suka
dalam keadaan seperti ini?”
Dijawab oleh Imam Hanafi:
“Wahai Amirul Mukminin
semoga Allah memperbaiki
Amirul Mukminin.
Wahai Amirul Mukminin,
takutlah kepada Allah,
janganlah bersekutu dalam
kepercayaan dengan orang
yang tidak takut kepada
Allah. Demi Allah saya
bukanlah orang yang boleh
dipercayai di waktu tenang,
maka bagaimana saya akan
dipercayai di waktu marah,
sungguh saya tidak sepatutnya
diberi jawatan itu.”
Baginda berkata lagi: “Kamu
berdusta, kamu patut dan
sesuai memegang jawatan
itu.” Dijawab oleh Imam
Hanafi: “Amirul Mukminin,
sungguh baginda telah
menetapkan sendiri, jika saya
benar, saya telah menyatakan
bahawa saya tidak patut
memegang jawatan itu. Jika
saya berdusta, maka
bagaimana baginda akan
mengangkat seorang maulana
yang dipandang rendah oleh
bangsa Arab. Bangsa Arab
tidak akan rela diadili seorang
golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga terjadi, baginda
Abu Jaffar Al-Mansur
memanggil tiga orang ulama
besar ke istananya, iaitu Imam
Abu Hanifah, Imam Sufyan ats
Tauri dan Imam Syarik an
Nakhaei. Setelah mereka
hadir di istana, maka
ketiganya ditetapkan untuk
menduduki pangkat yang
cukup tinggi dalam
kenegaraan, masing-masing
diberi surat pelantikan
tersebut.
Imam Sufyan ats Tauri
diangkat menjadi kadi di Kota
Basrah, lmam Syarik diangkat
menjadi kadi di ibu kota.
Adapun Imam Hanafi tidak
mahu menerima
pengangkatan itu di manapun
ia diletakkan. Pengangkatan
itu disertai dengan ancaman
bahawa siapa saja yang tidak
mahu menerima jawatan itu
akan didera sebanyak l00 kali
deraan.
Imam Syarik menerima
jawatan itu, tetapi Imam
Sufyan tidak mahu
menerimanya, kemudian ia
melarikan diri ke Yaman.
Imam Abu Hanifah juga tidak
mahu menerimanya dan tidak
pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu Imam Abu
Hanifah dimasukkan kembali
ke dalam penjara dan dijatuhi
hukuman sebanyak 100 kali
dera. Setiap pagi dipukul
dengan cambuk sementara
dileher beliau dikalung
dengan rantai besi yang berat.
Suatu kali Imam Hanafi
dipanggil baginda untuk
mengadapnya. Setelah tiba di
depan baginda, lalu diberinya
segelas air yang berisi racun.
Ia dipaksa meminumnya.
Setelah diminum air yang
beracun itu Imam Hanafi
kembali dimasukkan ke dalam
penjara. Imam Hanafi wafat
dalam keadaan menderita di
penjara ketika itu ia berusia
70 tahun.
Imam Hanafi menolak semua
tawaran yang diberikan oleh
kerajaan daulah Umaiyyah
dan Abbasiyah adalah kerana
beliau tidak sesuai dengan
corak pemerintahan yang
mereka kendalikan. Oleh
sebab itu mereka berusaha
mengajak Imam Hanafi untuk
bekerjasama mengikut gerak
langkah mereka, dan akhirnya
mereka seksa hingga
meninggal, kerana Imam
Hanafi menolak semua
tawaran yang mereka
berikan.
Sepanjang riwayat hidupnya,
beliau tidak dikenal dalam
mengarang kitab. Tetapi
madzab beliau Imam Abu
Hanifah atau madzab Hanafi
disebar luaskan oleh murid-
murid beliau. Demikian juga
fatwa-fatwa beliau dituliskan
dalam kitab-kitab fikih oleh
para murid dan pengikut
beliau sehingga madzab
Hanafi menjadi terkenal dan
sampai saat ini dikenal
sebagai salah satu madzab
yang empat. Di antara murid
beliau yang terkenal adalah
Muhammad bin Al-Hassan Al-
Shaibani, yang merupakan
guru dari Imam Syafi’iy.
sumber: http://
www.geocities.com/Athens/
Acropolis/9672/imam4.htm
tahun 80 Hijrah bertepatan
tahun 699 Masehi di sebuah
kota bernama Kufah. Nama
yang sebenarnya ialah Nu’man
bin Tsabit bin Zautha bin
Maha. Kemudian masyhur
dengan gelaran Imam Hanafi.
Imam Abu Hanafih adalah
seorang imam Mazhab yang
besar dalam dunia Islam.
Dalam empat mazhab yang
terkenal tersebut hanya Imam
Hanafi yang bukan orang
Arab. Beliau keturunan Persia
atau disebut juga dengan
bangsa Ajam. Pendirian beliau
sama dengan pendirian imam
yang lain, iaitu sama-sama
menegakkan Al-Quran dan
sunnah Nabi SAW.
Kemasyhuran nama tersebut
menurut para ahli sejarah ada
beberapa sebab:
1. Kerana ia mempunyai
seorang anak laki-laki yang
bernama Hanifah, maka ia
diberi julukan dengan Abu
Hanifah.
2. Kerana semenjak kecilnya
sangat tekun belajar dan
menghayati setiap yang
dipelajarinya, maka ia
dianggap seorang yang hanif
(kecenderungan/condong)
pada agama. Itulah sebabnya
ia masyhur dengan gelaran
Abu Hanifah.
3. Menurut bahasa Persia,
Hanifah bererti tinta. Imam
Hanafi sangat rajin menulis
hadith-hadith, ke mana, ia
pergi selalu membawa tinta.
Kerana itu ia dinamakan Abu
Hanifah.
Waktu ia dilahirkan,
pemerintahan Islam berada di
tangan Abdul Malik bin
Marwan, dari keturunan Bani
Umaiyyah kelima. Kepandaian
Imam Hanafi tidak diragukan
lagi, beliau mengerti betul
tentang ilmu fiqih, ilmu
tauhid, ilmu kalam, dan juga
ilmu hadith. Di samping itu
beliau juga pandai dalam ilmu
kesusasteraan dan hikmah.
Imam Hanafi adalah seorang
hamba Allah yang bertakwa
dan soleh, seluruh waktunya
lebih banyak diisi dengan amal
ibadah. Jika beliau berdoa
matanya bercucuran air mata
demi mengharapkan
keredhaan Allah SWT.
Walaupun demikian orang-
orang yang berjiwa jahat
selalu berusaha untuk
menganiaya beliau.
Sifat keberanian beliau adalah
berani menegakkan dan
mempertahankan kebenaran.
Untuk kebenaran ia tidak
takut sengsara atau apa
bahaya yang akan
diterimanya. Dengan
keberaniannya itu beliau
selalu mencegah orang-orang
yang melakukan perbuatan
mungkar, kerana menurut
Imam Hanafi kalau
kemungkaran itu tidak
dicegah, bukan orang yang
berbuat kejahatan itu saja
yang akan merasakan
akibatnya, melainkan
semuanya, termasuk orang-
orang yang baik yang ada di
tempat tersebut
Sebahagian dilukiskan dalam
sebuah hadith Rasulullah SAW
bahawa bumi ini
diumpamakan sebuah bahtera
yang didiami oleh dua
kumpulan. Kumpulan pertama
adalah terdiri orang-orang
yang baik-baik sementara
kumpulan kedua terdiri dari
yang jahat-jahat. Kalau
kumpulan jahat ini mahu
merosak bahtera dan
kumpulan baik itu tidak mahu
mencegahnya, maka seluruh
penghuni bahtera itu akan
binasa. Tetapi sebaliknya jika
kumpulan yang baik itu mahu
mencegah perbuatan orang-
orang yang mahu membuat
kerosakan di atas bahtera itu,
maka semuanya akan
selamat.
Sifat Imam Hanafi yang lain
adalah menolak kedudukan
tinggi yang diberikan
pemerintah kepadanya. Ia
menolak pangkat dan
menolak wang yang dibelikan
kepadanya. Akibat dari
penolakannya itu ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam
penjara. Di dalam penjara ia
diseksa, dipukul dan
sebagainya.
Gubernur di Iraq pada waktu
itu berada di tangan Yazid bin
Hurairah Al-Fazzari. Selaku
pemimpin ia tentu dapat
mengangkat dan
memberhentikan pegawai
yang berada di bawah
kekuasaannya. Pernah pada
suatu ketika Imam Hanafi
akan diangkat menjadi ketua
urusan perbendaharan negara
(Baitul mal), tetapi
pengangkatan itu ditolaknya.
Ia tidak mahu menerima
kedudukan tinggi tersebut.
Sampai berulang kali Gabenor
Yazid menawarkan pangkat
itu kepadanya, namun tetap
ditolaknya.
Pada waktu yang lain Gabenor
Yazid menawarkan pangkat
Kadi (hakim) tetapi juga
ditolaknya. Rupanya Yazid
tidak senang melihat sikap
Imam Hanafi tersebut. Seolah-
olah Imam Hanafi memusuhi
pemerintah, kerana itu timbul
rasa curiganya. Oleh kerana
itu ia diselidiki dan diancam
akan dihukum dengan hukum
dera. Ketika Imam Hanafi
mendengar kata ancaman
hukum dera itu Imam Hanafi
menjawab: “Demi Allah, aku
tidak akan mengerjakan
jabatan yang ditawarkan
kepadaku, sekalipun aku akan
dibunuh oleh pihak kerajaan.”
Demikian beraninya Imam
Hanafi dalam menegakkan
pendirian hidupnya.
Pada suatu hari Yazid
memanggil para alim ulama
ahli fiqih yang terkemuka di
Iraq, dikumpulkan di muka
istananya. Di antara mereka
yang datang ketika itu adalah
Ibnu Abi Laila. Ibnu Syblamah,
Daud bin Abi Hind dan lain-
lain. Kepada mereka, masing-
masing diberi kedudukan
rasmi oleh Gabenor.
Ketika itu gabenor
menetapkan Imam Hanafi
menjadi Pengetua jawatan
Sekretari gabenor. Tugasnya
adalah bertanggungjawab
terhadap keluar masuk wang
negara. Gabenor dalam
memutuskan jabatan itu
disertai dengan sumpah, “Jika
Abu Hanifah tidak menerima
pangkat itu nescaya ia akan
dihukum dengan pukulan.”
Walaupun ada ancaman
seperti itu, Imam Hanafi tetap
menolak jawatan itu, bahkan
ia tetap tegas, bahawa ia
tidak mahu menjadi pegawai
kerajaan dan tidak mahu
campur tangan dalam urusan
negara.
Kerana sikapnya itu, akhirnya
ditangkap oleh gabenor.
Kemudian dimasukkan ke
dalam penjara selama dua
minggu, dengan tidak dipukul.
Lima belas hari kemudian
baru dipukul sebanyak 14 kali
pukulan, setelah itu baru
dibebaskan. Beberapa hari
sesudah itu gabenor
menawarkan menjadi kadi,
juga ditolaknya. Kemudian
ditangkap lagi dan dijatuhi
hukuman dera sebanyak 110
kali. Setiap hari didera
sebanyak sepuluh kali
pukulan. Namun demikian
Imam Hanafi tetap dengan
pendiriannya. Sampai ia
dilepaskan kembali setelah
cukup 110 kali cambukan.
Walaupun demikian ketika
Imam Hanafi diseksa ia
sempat berkata. “Hukuman
dera di dunia lebih ringan
daripada hukuman neraka di
akhirat nanti.” Ketika ia
berusia lebih dari 50 tahun,
ketua negara ketika itu
berada di tangan Marwan bin
Muhammad. Imam Hanafi juga
menerima ujian. Kemudian
pada tahun 132 H sesudah dua
tahun dari hukuman tadi
terjadilah pergantian pimpinan
negara, dari keturunan
Umaiyyah ke tangan
Abbasiyyah, ketua negaranya
bernama Abu Abbas as Saffah.
Pada tahun 132 H sesudah Abu
Abbas meninggal dunia diganti
dengan ketua negara yang
baru bernama Abi Jaafar Al-
Mansur, saudara muda dari
Abul Abbas as Saffah. Ketika
itu Imam Abu Hanifah telah
berumur 56 tahun. Namanya
masih tetap harum sebagai
ulama besar yang disegani.
Ahli fikir yang cepat dapat
menyelesaikan sesuatu
persoalan.
Suatu hari Imam Hanafi
mendapat panggilan dari
baginda Al-Mansur di
Baghdad, supaya ia datang
mengadap ke istana.
Sesampainya ia di istana
Baghdad ia ditetapkan oleh
baginda menjadi kadi (hakim)
kerajaan Baghdad. Dengan
tawaran tersebut, salah
seorang pegawai negara
bertanya: “Adakah guru tetap
akan menolak kedudukan baik
itu?” Dijawab oleh Imam
Hanafi “Amirul mukminin
lebih kuat membayar kifarat
sumpahnya daripada saya
membayar sumpah saya.”
Kerana ia masih tetap
menolak, maka diperintahkan
kepada pengawal untuk
menangkapnya, kemudian
dimasukkan ke dalam penjara
di Baghdad. Pada saat itu para
ulama yang terkemuka di
Kufah ada tiga orang. Salah
satu di antaranya ialah Imam
Ibnu Abi Laila. Ulama ini sejak
pemerintahan Abu Abbas as
Saffah telah menjadi mufti
kerajaan untuk kota Kufah.
Kerana sikap Imam Hanafi itu,
Imam Abi Laila pun dilarang
memberi fatwa.
Pada suatu hari Imam Hanafi
dikeluarkan dari penjara
kerana mendapat panggilan
dari Al-Mansur, tetapi ia tetap
menolak. Baginda bertanya,
“Apakah engkau telah suka
dalam keadaan seperti ini?”
Dijawab oleh Imam Hanafi:
“Wahai Amirul Mukminin
semoga Allah memperbaiki
Amirul Mukminin.
Wahai Amirul Mukminin,
takutlah kepada Allah,
janganlah bersekutu dalam
kepercayaan dengan orang
yang tidak takut kepada
Allah. Demi Allah saya
bukanlah orang yang boleh
dipercayai di waktu tenang,
maka bagaimana saya akan
dipercayai di waktu marah,
sungguh saya tidak sepatutnya
diberi jawatan itu.”
Baginda berkata lagi: “Kamu
berdusta, kamu patut dan
sesuai memegang jawatan
itu.” Dijawab oleh Imam
Hanafi: “Amirul Mukminin,
sungguh baginda telah
menetapkan sendiri, jika saya
benar, saya telah menyatakan
bahawa saya tidak patut
memegang jawatan itu. Jika
saya berdusta, maka
bagaimana baginda akan
mengangkat seorang maulana
yang dipandang rendah oleh
bangsa Arab. Bangsa Arab
tidak akan rela diadili seorang
golongan hakim seperti saya.”
Pernah juga terjadi, baginda
Abu Jaffar Al-Mansur
memanggil tiga orang ulama
besar ke istananya, iaitu Imam
Abu Hanifah, Imam Sufyan ats
Tauri dan Imam Syarik an
Nakhaei. Setelah mereka
hadir di istana, maka
ketiganya ditetapkan untuk
menduduki pangkat yang
cukup tinggi dalam
kenegaraan, masing-masing
diberi surat pelantikan
tersebut.
Imam Sufyan ats Tauri
diangkat menjadi kadi di Kota
Basrah, lmam Syarik diangkat
menjadi kadi di ibu kota.
Adapun Imam Hanafi tidak
mahu menerima
pengangkatan itu di manapun
ia diletakkan. Pengangkatan
itu disertai dengan ancaman
bahawa siapa saja yang tidak
mahu menerima jawatan itu
akan didera sebanyak l00 kali
deraan.
Imam Syarik menerima
jawatan itu, tetapi Imam
Sufyan tidak mahu
menerimanya, kemudian ia
melarikan diri ke Yaman.
Imam Abu Hanifah juga tidak
mahu menerimanya dan tidak
pula berusaha melarikan diri.
Oleh sebab itu Imam Abu
Hanifah dimasukkan kembali
ke dalam penjara dan dijatuhi
hukuman sebanyak 100 kali
dera. Setiap pagi dipukul
dengan cambuk sementara
dileher beliau dikalung
dengan rantai besi yang berat.
Suatu kali Imam Hanafi
dipanggil baginda untuk
mengadapnya. Setelah tiba di
depan baginda, lalu diberinya
segelas air yang berisi racun.
Ia dipaksa meminumnya.
Setelah diminum air yang
beracun itu Imam Hanafi
kembali dimasukkan ke dalam
penjara. Imam Hanafi wafat
dalam keadaan menderita di
penjara ketika itu ia berusia
70 tahun.
Imam Hanafi menolak semua
tawaran yang diberikan oleh
kerajaan daulah Umaiyyah
dan Abbasiyah adalah kerana
beliau tidak sesuai dengan
corak pemerintahan yang
mereka kendalikan. Oleh
sebab itu mereka berusaha
mengajak Imam Hanafi untuk
bekerjasama mengikut gerak
langkah mereka, dan akhirnya
mereka seksa hingga
meninggal, kerana Imam
Hanafi menolak semua
tawaran yang mereka
berikan.
Sepanjang riwayat hidupnya,
beliau tidak dikenal dalam
mengarang kitab. Tetapi
madzab beliau Imam Abu
Hanifah atau madzab Hanafi
disebar luaskan oleh murid-
murid beliau. Demikian juga
fatwa-fatwa beliau dituliskan
dalam kitab-kitab fikih oleh
para murid dan pengikut
beliau sehingga madzab
Hanafi menjadi terkenal dan
sampai saat ini dikenal
sebagai salah satu madzab
yang empat. Di antara murid
beliau yang terkenal adalah
Muhammad bin Al-Hassan Al-
Shaibani, yang merupakan
guru dari Imam Syafi’iy.
sumber: http://
www.geocities.com/Athens/
Acropolis/9672/imam4.htm
Senin, 01 Agustus 2011
JADWAL IMSAKIYAH RAMADHAN 1432H / 2011M
Untuk teman-teman khususnya umat muslim yg sedang menjalankan ibadah puasa, berikut ini adalah jadwal imsyakiyah ramadhan 1432H / 2011M untuk wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya.
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
Langganan:
Postingan (Atom)